Ali Topan Melawan

Rio Jo Werry
5 min readNov 4, 2020

--

Ali Topan Sawahlunto

Belasan tahun lalu, kelas 2 SMA, seorang teman menyapa saya di depan pagar sekolah. “Cabut yuk, cari buku ke Senen,” katanya sambil tersenyum. Saya mengangguk.

Kemudian kami naik angkot angkot ke terminal Lebak Bulus, lalu menyambung Kopaja P20 jurusan Lebak Bulus-Senen. Kopaja yang reot ini jadi saksi Jakarta mulai membuka hari.

Setibanya di Senen, saya mengambil ide untuk ke Kwitang. Bagi saya, Kwitang kala itu adalah lambang sesuatu yang keren. Tentu saja ini semua karena Nicholas Saputra. Ndak usah dijelasin lah ya, kan sudah tahu adegan legendaris tersebut.

Mata saya tertegun melihat sebuah cover buku yang beukuran kecil. “Duh keren nih orang, jantan kayak Gabriel Batistuta,” kata saya kepada seorang teman bernama Achmad Zaelani alias Kojel. Saya baca judul bukunya, Ali Topan Anak Jalanan.

Wah keren sekali judulnya. Saya tak ingat berapa rupiah ongkos yang harus saya tukar untuk membawa pulang buku tersebut. Namun yang pasti, cabut sekolah saya tak sia-sia. Hehe. Andaikan dulu rajin sekolah mungkin sudah jadi pegawai BUMN kali sekarang.

Kembali ke Ali Topan, “Ali Topan Anak Jalanan” adalah salah satu novel legendaris yang ditulis oleh Teguh Esha. Novel yang terbit pada tahun 1977 ini juga diangkat ke layar lebar, pemeran utamanya yakni Junaedi Salat dan Yati Octavia. Ndak usah bahas filmnya, ya. Tak ada yang menarik. Biasa-biasa saja.

Awalnya novel ini adalah cerita bersambung yang dimuat di majalah STOP yang menceritakan tentang kisah seorang anak muda bernama Ali Topan. Seorang anak Jakarta yang hidup di tahun 70-an. Ia seperti kebanyakan pemuda di generasinya, frustrasi dan marah terhadap zaman.

Suatu masa ketika para orangtua kerap mendoktrin anaknya tentang mana yang baik dan mana yang buruk. Suatu masa ketika pembangunan ekonomi dianggap segalanya. Kapitalisme menjadi acuan. Sialnya, kapitalisme mencengkram seluruh lini kehidupan. Termasuk dampak secara moral.

Standar moral diatur dan ditentukan oleh orang-orangtua yang hidup dalam kepanikan, kemudian melampiaskan kekesalan kepada anak-anaknya dengan caranya masing-masing. Kalau bahasa kerennya yang saya kutip secara serampangan dari Budiarto Shambazy: the roaring seventies. Generasi di mana anak mudanya acuh, tante girang dan omnya senang.

Orangtua Ali Topan adalah gambaran orangtua yang sibuk dengan diri dan ambisi mereka masing-masing. Di kamarnya terpajang poster bertuliskan “a house is not a home”. Jelas house dan home mengandung dua arti yang berbeda. Googling saja ya kalau belum tahu. Capek.

Papa Ali Topan, tipikal orangtua yang menghabiskan waktu di luar rumah. Dengan modus pekerjaan, ia menghabiskan waktu bersama gadis-gadis muda.

Mamanya pun hampir sama perangainya. Kecewa dengan sang suami yang lebih banyak ‘’jajan” di luar, ia kemudian mencontoh sang suami dan mencari kebahagiaan dengan lelaki muda. (mirip album Orexas-nya Remy Sylado ya, kapan-kapan kita bahas)

Belum lagi kakak lelakinya yang paling besar tertangkap basah menghamili pembantunya (kenapa cerita zaman dulu banyak bener pembantu hamil, ya?).

Alih-alih disuruh bertanggung jawab oleh orang tua, kakak Ali Topan malah diselamatkan oleh orang tuanya dengan disekolahkan ke luar negeri. “Jika orang tahu kelakuan anak kita, mau dibawa ke mana nama baik keluarga kita?” pikir orang tua Ali Topan kala itu.

Laiknya anak muda yang marah melihat sesuatu yang tak sesuai dengan nuraninya, Ali Topan pun marah. Dia muak dan jengah dengan keadaan ini. Kemarahan disalurkan Ali dengan menghabiskan waktu bersama tiga sahabatnya, Bobb, Dudung, dan Gevaert.

Orang-orang menyebut mereka kumpulan berandalan atau krosboi. Kelakuannya yang sering ngebut di jalan, bikin kerusuhan, dan bertindak seenaknya, menambah kesan bahwa mereka adalah anak muda yang tak diharapkan oleh orangtua.

Di sekolah pun begitu, sekolah tak lagi menjadi tempat yang menarik untuk menimba ilmu pengetahuan. Toh sekolah yang hanya menjadikan para murid sekrup-sekrup pendidikan pada jaman Ali Topan, bahkan sampai sekarang.

Guru selalu benar dan murid diharuskan untuk mengikutinya. Tak ada proses dialektika di sana. Guru akan marah besar jika murid berani membantah apa yang dikatakan. Perkataan guru adalah fatwa yang tak terbantah.

Ali Topan bersama tiga sahabatnya itu lebih memilih bolos dari sekolah dan mencari kebahagiaan di jalanan. Kebahagiaan itu tak ia dapati di rumah dan di sekolah, pikir mereka.

Eddy Satya Dharma dalam pengantar buku ini mengatakan, “Membaca bukunya, kita seperti diajak menonton potret kehidupan remaja berandalan yang suka bergentayangan di jalan-jalan kota Jakarta. Struktur ceritanya kokoh, alurnya luwes, dan dialog-dialog di setiap halaman jelas merefleksikan karakterisasi para tokoh.”

Saya bersepakat dengan pernyataan di atas. Membaca tulisan Teguh Esha ini, kita akan dibawa oleh cerita-ceritanya yang menarik. Ceritanya begitu hidup. Penggunaan bahasanya pun lugas dan sehari-hari.

Untuk saya yang dilahir dan besar di era milenial ini, membaca Ali Topan bukanlah seperti membaca novel yang konteksnya hanya sekadar nostalgia. Teguh Esha memberikan pesan moral yang akan selalu relevan dengan perkembangan zaman.

Orang-orangtua di zaman sekarang pun, masihkah ada perangainya dengan orangtua di zaman Ali Topan? Mencari kebahagiaan di tempat lain yang membuat anak kehilangan kasih sayang yang seharusnya bisa ia dapatkan di rumah. Kemudian si anak mengatur jalan hidupnya sendiri, mencari alur kebahagiaannya sendiri. Ketika pulang ke rumah, kesepian, itu masihmakin menjadi-jadi.

Lain lagi dengan orangtua Anna Karenina, gadis bungsu dari keluarga gedongan yang juga kekasih Ali Topan. Orangtua Anna begitu keras mengatur hidup si anak. Pergaulannya dibatasi hanya karena si orangtua mengalami trauma karena kakak pertama Anna sudah hamil di luar nikah.

Karena pengalaman tidak mengenakkan tersebut, Anna begitu diawasi secara ketat. Ia hidup atas keinginan si orangtua yang tetap menganggap anaknya hanyalah “boneka” kecil yang diharuskan patuh.

Pemberontakan Ali Topan

Menghadapi situasi seperti ini, Ali Topan tak sendiri, masih banyak orang yang senasib dengannya. Ali Topan memilih sikap masa bodoh saja atas apa yang terjadi. Sikap acuh tak acuh tersebut menjadi salah satu cara pemberontakan yang bisa ia lakukan.

Selain itu, ia juga kerap menyindir orangtuanya dengan kalimat-kalimat yang tak biasa. Beberapa kali ia mendapati papanya sedang berkencan dengan seorang gadis dan mamanya tertangkap basah oleh potret yang ia dapatkan dari seorang kawan, dalam potret itu terlihat wajah mamanya sedang berpelukan dengan pemuda tampan. Dan yang lebih memilukan, gosip tentang kedua orangtuanya sudah tersebar dan diketahui orang-orang.

Menunggu kedua orangtuanya insaf adalah hal yang mustahil. Kepada kakak perempuannya, Windy, Ali Topan berkata, “Kalau ember bocor bisadibikin betul, kalau orang yang bocor kan susah nyoldernya. Menurut gua sih, emang sekarang lagi zamannya orangtua jadi rusak. Bukan cuma orangtua kita, Win, orangtua teman-teman gua juga kebanyakan rusak semua. Udah zamannya.”

Hal ini makin diperparah dengan tidak diterimanya kehadiran Ali Topan di keluarga Anna. Ali Topan adalah lelaki yang berengsek dan dapat mengganggu kehidupan Anna, begitu pikir orangtua Anna. Pada akhirnya, Anna, perempuan lembut itu, akhirnya kabur dari rumah dan ikut melawan seperti Ali Topan.

Novel ini secara keseluruhan menceritakan sesuatu yang sangat kompleks. Pada intinya, Teguh Esha mengkritik cara orangtua dalam membesarkan anak. Ada orang tua yang hanya sibuk dengan dirinya sendiri, hingga lupa pada kebutuhan cinta seorang anak.

Di sisi lain, ada orang tua yang begitu mencintai anaknya dengan cara yang salah. Begitu keras terhadap anak dan membuat si anak menjadi tertekan batinnya. Ada perang nilai, pembaruan, dan kelolotan yang dihadirkan dalam cerita. Di sana melahirkan generasi yang menelan kepahitan.

Seorang anak akan hidup mengikuti zamannya masing-masing. Orang tua harus menyadari bahwa yang dibutuhkan seorang anak adalah kasih sayang. Selain itu, komunikasi terhadap anak menjadi penting dalam perjalanan hidup seorang anak.

Ali Topan Anak Jalanan adalah sebuah cerita yang akan selalu relevan dengan keadaan zaman. Selagi masih ada orangtua dan anak, kita akan menemui “Ali Topan” baru.

Kecuali, jika kita sebagai kaum muda yang besok akan menjadi ayah/ibu memahami pesan yang Teguh Esha sampaikan dalam novel Ali Topan Anak Jalanan.

Fak, penutup tulisan yang bertele-tele dan penuh omong-kosong. Sudah dulu ya, mau nonton Asia Carrera dulu.

--

--

Rio Jo Werry

Bercita-cita menjadi penyair. Namun sayang kurang cendekiawan dan tak terlalu bijak.