Rio Jo Werry
5 min readMay 16, 2021

Ayu Utami: Hinaan dan Pujian Bisa Jadi Jebakan

Foto: Zhu Qincay

“Sudah makan? Makan dulu, ngobrolnya mah gampang,” kata Ayu Utami kepada saya. Saya menjawabnya dengan anggukan. Saya dan Ayu bersua di Utan Kayu, tempat di mana ia menghabiskan waktunya bekerja sebagai kurator. Hari itu, ia bersama suaminya datang 15 menit dari jadwal yang kami janjikan. Sebelum mereka datang, saya menyesap kopi sambil melihat sekeliling.

Awal ’90-an, penulis lulusan Sastra Rusia ini pernah bekerja sebagai wartawan untuk Majalah Matra, Forum Keadilan dan D&R. Masa itu adalah periode sulit bagi beberapa media di Indonesia: Majalah Tempo, Detik, dan Editor dibredel oleh rezim Orde Baru. Kemudian, ia bersama beberapa wartawan muda Indonesia lainnya mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) sebagai protes terhadap pembredelan tersebut.

Tapi, bukan karena itu penulis di hadapan saya ini menjadi populer. Adalah novel Saman yang terbit sebulan sebelum Soeharto lengser yang membuat namanya menggegerkan dunia sastra tanah air di abad ke-20. Nama lengkapnya; Justina Ayu Utami. Ia berusia 52 tahun dan aktif menulis hingga sekarang.

“Dari segi kreativitas, menurut saya enggak mati. Justru banyak terobosan baru. Hanya sayang, tidak bisa menghasilkan [materi] seperti sebelum masa pandemi,” kata Ayu ketika saya menanyakan “bagaimana proses berkesenian di masa pandemi ini?”. Sejak wabah Covid-19 menjadi satu hal yang menakutkan, segala rencana yang telah dibuat menjadi berantakan. Sebagian orang harus gigit jari sambil berharap masa sulit ini segera berakhir.

Saya jadi teringat satu nasehat dari seorang filsuf Cina abad lampau: lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan. Mengakali keadaan memang suatu hal yang harus dilakukan di masa sulit seperti ini. Begitu pula dalam berkesenian. Banyak “lilin-lilin” yang bisa dinyalakan untuk tetap menghidupkan seni itu sendiri.

Hal ini disadari betul oleh Ayu Utami. Ia optimis bahwa dengan melakukan kerja-kerja seni di masa pandemi ini, perubahan yang signifikan pasti akan terjadi. Yang jadi pertanyaan berikutnya, “perubahan yang seperti apa yang bakal terjadi itu?”

Berikut petikan perbincangan saya dengan penulis penerima Prince Claus Award 2000 ini.

Rio Jo Werry (R): Apa yang membedakan cara berkesenian kita setelah 22 tahun reformasi terjadi?

Ayu Utami (A): Secara konteks represi, kita sekarang jauh lebih bebas. Enggak ada pertempuran ideologi yang gimana-gimana, kalau ada paling cuma (persoalan) agama. Itu juga gak menarik. Tapi, kita kadang bingung sendiri, kita ini berada dalam kebebasan yang seperti apa?

Melawan dengan seni sekarang sudah gak sekuat zaman dulu. Dulu, seni betul-betul gagah dan sarat perlawanan. Makanya Denny JA ngotot mau jadi sastrawan, karena sastrawan zaman dulu itu pahlawan. (tertawa)

R: Sebelum reformasi, ada satu lawan bersama yang dihadapi oleh para seniman, yaitu penguasa yang menindas. Kalau sekarang?

A: Saya kira seniman tak bisa lepas dari kegelisahan masyarakat. Yang jadi pertanyaan, apa kegelisahannya? Oke, zaman sekarang harus diakui kalau kita tak punya lawan yang sepadan untuk melawan kapitalisme. Coba lihat, kehidupan kita tak bisa lepas dari kapitalisme. Selera baju, teknologi dan bahkan pola makan kita seragam. Kita tercerabut dari budaya kita sendiri. (Di Utan Kayu, Ayu Utami membuka kelas filsafat untuk pemula)

Kegelisahan kita adalah melepaskan diri dari dominasi pasar dan global yang melihat manusia hanya sebatas target pasar. Mungkin peran seni untuk mengembalikan dan mengusahakan budaya lokal kita bisa hidup kembali.

R: Ketika novel Saman muncul, sempat terjadi polemik soal pelabelan “sastra wangi”. Bagaimana seorang Ayu Utami menyikapi polemik itu?

A: Kalau soal polemik atau kontroversinya sih buat saya, ya, santai saja. Saya cuma kesal karena ada satu ulasan yang malah bilang gini, “dibalik tulisannya yang lancar, ternyata Ayu Utami orangnya gak bisa ngomong”. Kok malah bagian itu yang dibahas, sisanya ditulis biasa saja.

R: Penulis biasanya kesal kalau tulisannya dihina orang

A: Peduli amat apa kata orang. Hinaan dan pujian bisa jadi jebakan, jangan terpaku karena itu. Kadang pujian yang tanpa landasan, ya, buat apa juga. Tapi, kalau kita dikritik dan yang disampaikan itu benar, malah bagus buat kita. Yang paling penting sih argumennya.

R: Bagaimana proses berkesenian di masa pandemi ini?

A: Dari sisi ekonomi, berat buat para pekerja seni, karena banyak lahan yang tak bisa dikerjakan lagi, kan. Pertunjukan nggak bisa lagi. Mereka [pekerja seni] banyak yang kehilangan pekerjaan. Secara profesional memang berat. Tapi, kita harus ingat juga, bukan cuma pekerja seni yang kena imbasnya, orang-orang di luar sana juga banyak yang susah. Sekarang ini memang masa yang sulit.

Kalau dilihat dari kacamata ekspresi dan kreativitas, [berkesenian] masih banyak harapan. Menurut saya enggak mati. Justru banyak terobosan dan pola baru yang terbentuk. Misal, biasanya orang menyaksikan pertunjukan langsung, kini dilakukan secara daring. Pameran-pameran juga dilakukan secara virtual, atau pembacaan teks diunggah di Spotify.

Ya, kalau mau, banyak proses kreatif yang bisa dilakukan. Hanya sayang, tidak bisa menghasilkan [materi] seperti sebelum masa pandemi.

R: Sebagai penikmat seni, apakah masyarakat sudah siap dengan terobosan semacam itu?

A: Pola ini ada untung dan kurangnya. Untungnya, mereka bisa nonton atau menikmati seni enggak harus dengan datang langsung. Selain itu, penonton lebih terbuka dan luas karena tidak dibatasi secara kursi. Kekurangannya, ya, ada pengalaman yang hilang dari cara menikmati kesenian itu.

R: Seperti?

A: Sensasi ruang.

R: Apakah kesenian punya peran dalam menghadapi pandemi ini?

A: Kesenian selalu punya peran di setiap waktu dalam kehidupan ini, tidak khusus di masa pandemi saja. Perannya apa? Membuat manusia menjadi manusia.

R: Maksudnya?

A: Gini, seni itu kan memberikan ruang untuk kebebasan. Hal-hal yang mungkin aneh di masyarakat atau eksperimen-eksperimen yang enggak berhasil, itu dimungkinkan dalam seni. Jadi, kita melihat peran seni dari situ, ada ruang kebebasan yang mungkin tidak bisa diberikan oleh bidang-bidang yang lain.

Kalau kamu berkerja sebagai guru di sekolah, kamu enggak bisa terlalu banyak bebas karena yang kamu ajar itu anak orang. Kalau di dunia medis, enggak segampang itu untuk bereksperimen karena badan orang yang kamu obati.

R: Kalau tidak ada kebebasan dalam bereksperimen?

A: Dampaknya manusia akan dikuasai oleh aturan-aturan. Kalau semua bidang tidak diberi kebebasan, maka manusia akan menjadi budak dari peraturan-peraturan. Akhirnya, dia terasing dari dirinya sendiri. Sebab masih banyak misteri dalam diri manusia yang belum terpecahkan. Intinya, seni memberi ruang untuk kebebasan setiap saat dalam kehidupan.

R: Mengenai ruang-ruang tersebut, sejauh mana kehadiran seni bisa menyentuh masyarakat?

A: Sebetulnya, hal ini dari waktu ke waktu sama saja. Selalu yang punya pemahaman tentang seni yang bisa bereksperimen. Seni yang bebas atau seni yang intelektual jumlahnya enggak akan besar. Di mana-mana yang hardcore jumlahnya selalu tidak banyak, dan mereka itu elit dalam kesenian. Elit bukan dalam artian mereka membuat gap. Tapi, elit dalam hal ini berarti serius. Itu terjadi juga di semua bidang. Pasti ada hardcorenya. Sisanya itu, ya, fun atau pop.

Contoh mudahnya begini, atlet panjat tebing jumlahnya sedikit. Selebihnya, ya, buat fun aja. Agama juga itu, yang sufi sedikit, selebihnya cuma mereka yang mengaku beragama.

  • ******

Saya sengaja membiarkan obrolan ini menggantung. Rencananya, jika ndak malas, akan ada obrolan lanjutan saya dengan Ayu Utami. Tapi, ya jangan ditunggu. Sebab menunggu itu menyakitkan.

Rio Jo Werry

Bercita-cita menjadi penyair. Namun sayang kurang cendekiawan dan tak terlalu bijak.