Kemiskinan dan Bunuh Diri Bagai Biji Peler

Rio Jo Werry
4 min readMar 15, 2021

--

Foto Muhammad Hidayat

Orang-orang miskin mengangkat pisau-pisau
tertuju ke dada kita,
atau ke dada mereka sendiri.
O, kenangkanlah :
orang-orang miskin
juga berasal dari kemah Ibrahim.

Penggalan puisi di atas, tentu tak asing bagi mereka yang menggemari karya penyair besar WS Rendra.

Puisi tersebut, ditulis Rendra di Jogjakarta pada 4 Februari 1978 dengan sangat indah sekaligus membuat nyeri setiap orang yang membacanya.

Rendra yang sebagaimana kita kenal karyanya itu, melukiskan kemiskinan lewat puisi yang begitu jujur. Si Burung Merak ini, seakan mengenal betul aroma rudin yang hadir dari zaman ke zaman.

Dalam hal ini, lewat puisinya, Rendra benar. Kemiskinan bisa saja membunuh dada orang lain dengan pisau di tangan. Berapa banyak sering kita dengar, banyak orang bunuh diri setelah merasa gagal dalam memenuhi kebutuhan hidup.

Dunia tak berpihak, kata mereka. Lalu dalam keadaan terdesak, manusia akan mengeluarkan naluri kebinatangan (untuk sebagian kasus, malah manusia jauh lebih kejam dari binatang) sekadar untuk makan dan hidup.

Celakanya, selain membunuh orang lain, menancapkan pisau ke dada sendiri juga menjadi pilihan bagi si miskin. Kita mengenal istilah tersebut dengan nama bunuh diri.

Kasus soal bunuh diri yang difasilitasi oleh kemiskinan, acap kita lihat hilir-mudik menjadi berita di media massa dari waktu ke waktu. Menjadi sejarah yang terus berputar.

Di tahun 1986 misalnya, wartawan senior sekaligus penyair kondang (hihihi) Goenawan Mohammad, menulis sebuah catatan di Majalah Tempo tentang kematian seorang tukang becak bernama Sukardal. Ia memberi catatan tersebut dengan judul The Death of Sukardal.

Sukardal adalah pria berumur 53 tahun. Ia beprofesi sebagai tukang becak. Malang tak terhindarkan pada suatu malam di bulan Juli 1986. Becak yang pacak guna menghidupi ia dan keluarga, harus disita oleh para petugas Tibum alias penertiban umum.

“Tukang becak tua ini kehilangan becaknya, pada tanggal 2 Juli 1986 malam, di sebuah perempatan Kota Bandung. Para petugas Tibum, sesuai dengan peraturan dan perintah atasan, menyita becak itu,” tulis Goenawan Mohammad alias GM ini.

Sukardal marah, dongkol dan tak berdaya. Saya bayangkan betapa mendidih kepala Sukardal saat itu. Ia dipaksa kalah dan menyerah oleh keadaan.

Dalam keadaan perih tak tertahan, sekawanan iblis brengsek kemudian berpesta di kepala Sukardal. Lantas sekawanan iblis jugalah yang menyuruh Sukardal mengakhiri hidup. Ia gantung diri tepat di sebuah rumah di Jalan Ternate.

Sebelum bunuh diri, ia berpesan lewat sepucuk surat wasiat kepada anak sulung bernama Yani. “Yani, adikmu kirimkan ke Jawa, Bapak sudah tak sanggup hidup. Mayatku supaya dikuburkan di sisi emakmu.”

Tak cukup dengan surat wasiat kepada anaknya, satu setengah meter dari pohon tempat Sukardal mati, ada tembok.

Di sana tertulis kalimat perlawanan Sukardal sebelum Izrail mencabut nyawanya. “Saya gantung diri karena becak saya dibawa anjing Tibum,” tulis Sukardal. Sebelum mati, walau kalah, ia masih mencoba melawan.

Mengakhiri hidup dengan bunuh diri juga menjadi pilihan bagi Desty (50) yang berporofesi sebagai ibu rumah tangga. Ia bunuh diri pada tahun 2009. Berjarak 23 tahun dari kematian Sukardal.

Desty mengalami depresi. Sehari-hari, suami korban bekerja sebagai buruh serabutan dengan penghasilan Rp 20.000. Penghasilan segitu membuatnya kalut menghadapi dunia ini. Ia ditemui tak bernyawa di bawah langit-langit kamarnya dengan lilitan kain di leher.

Kali ini, ia berhasil untuk mati. Sebenarnya sudah beberapa kali melangsungkan aksinya tersebut, namun upaya tersebut selalu gagal karena keburu diketahui suami dan warga sekitar.

Nama Sukardal dan Desty mungkin hanya sekadar berita. Keduanya tak akan mungkin tercatat dalam buku sejarah kenegaraan. Tak hanya mereka berdua, begitu banyak nama (jika kita mau mencari) yang mengalami nasib serupa.

Di Indonesia, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat persentase penduduk miskin pada Maret 2020 mencapai 9,78 persen. Jumlah ini meningkat 0,56 persen poin terhadap September 2019 dan meningkat 0,37 persen poin terhadap Maret 2019.

Sementara di sisi lain, Presiden (entah siapapun itu) dari waktu ke waktu, selalu membeberkan keberhasilannya dalam pertumbuhan ekonomi di bawah kepemimpinannya. Saya selalu sangsi jika ada orang politik yang bicara atau punya program untuk mengentaskan kemiskinan. Hebat bener lu, Tong.

Ironis tapi nyata memang. Kemiskinan selalalu hadir di lintasan zaman. Saya jadi ingat, guru mengaji saya pernah berceramah jika agama begitu membenci kemiskinan. “Sebab kemiskinan dekat dengan kekufuran,” kata guru mengaji saya mengutip sebuah hadist. Tapi, hidup tak semudah ceramah guru mengaji saya, tentunya.

Sukardal dan Desty mungkin tahu hadist tersebut. Namun, keduanya terjebak dalam labirin panjang tanpa akhir. Derita tak berkesudahan di dunia, maka bunuh diri menjadi jalan pintas untuk melepaskan derita tak tersebut. Siapa tahu, pintu surga terhampar luas. Etapi kalau beneran surga itu ada ya?

Bunuh diri akan terlihat keren jika dilakukan rocker macam Kurt Cobain atau Jimi Hendrix. Namun, mendengar kisah tragis Sukardal dan Desty, bunuh diri menjadi sangat mengilukan, bukan?

--

--

Rio Jo Werry

Bercita-cita menjadi penyair. Namun sayang kurang cendekiawan dan tak terlalu bijak.