Malam Pergantian Tahun Codot

Rio Jo Werry
5 min readJul 26, 2020

--

Pada malam pergantian tahun semua orang di kota Merah berbahagia. Seluruh isi kota bersuka-ria. Tampak panggung besar dan mewah yang hanya berisikan pidato Wali Kota yang penuh basa-basi.

Anehnya panggung tersebut tersedia peralatan band yang cukup lengkap. Namun hanya menjadi pajangan saja. Tampak pula, anak-anak kecil yang sedang bermain kembang api di sekitar taman kota. Muda-mudi memadu kasih bagai Romeo dan Juliet.

Pak Polisi, yang biasanya kerap menangkap pengguna jalan yang tidak taat aturan, kali ini membebaskan masyarakat dengan tidak melakukan razia di malam yang berbahagia ini. Sebenarnya, tak perlu pak polisi harus bersusah payah untuk menjaga keamanan di kota ini. Kota Merah selama ini terkenal aman dan terkendali. Jangankan teroris, maling saja tak pernah ada di kota ini. Kota Merah terkenal aman dan tentram.

Di malam ini, hanya ada satu hal yang tidak aman. Ini hanya masalah hati seorang anak manusia bernama Codot.

Aku, sebagai penulis cerita, sebenarnya ragu apakah kalian sebagai pembaca mau membaca cerita ini sampai selesai. Apalagi kalau Codot tahu jika kisahnya sudah kusebar-luaskan. Bisa-bisa ia murka padaku. Kewajibanku sebagai seorang pengarang lah yang membuatku ingin menuliskan kisah ini. Begini ceritanya.

Pertama, aku akan mengenalkan kepada kalian siapa Codot sebenrnya. Agar setelah cerita berlangsung, kalian dapat memahami isi jalan pikiran Codot sebagai manusia.

Codot adalah seorang lelaki berumur 21 tahun. Setelah lulus SMA, ia bercita-cita untuk melanjutkan kuliah ke Fakultas impiannya sejak kecil, yakni fakultas kedokteran. Hanya saja, karena ekonomi keluarga yang tidak mendukung, ia mengurungkan niat tersebut.

Alih-alih marah, Codot malah berlapang dada. Baginya, apalah guna ia menjadi dokter kalau ayahnya harus berhutang ke sana-kemari demi memuaskan ego impiannya semata.

Tenang, Codot punya cita-cita cadangan selain menjadi Dokter. Ia ingin menjadi anak band. Setelah dapat dipastikan ia tak bisa kuliah, ia berkeinginan untuk menjadi musisi besar. Dengan sedikit modal mampu bermain gitar dan bernyanyi sekadarnya, Codot memutuskan untuk mencari kawan-kawan yang satu hobi dengannya kemudian mendirikan sebuah band.

”Aku harus bikin band, aku takut bersolo karir karena itu berpotensi membuat diriku mengalahkan Iwan Fals,” itulah alasan yang selalu Codot lontarkan ketika orang-orang bertanya kenapa ia harus membentuk sebuah band.

Codot menemukan tiga orang kawan dan terbentuklah Kincrot band. Hey, hey, hey jangan sekali-kali kau tanyakan apa makna dari nama tersebut. Ia tak segan memarahimu dan mengatakan kau terlalu ikut campur dengan ide dan gagasannya yang besar.

“Apalah arti sebuah nama, Mia Khalifa akan tetap menjadi Mia Khalifa walau kau tukar namanya menjadi Dewi Tanjung, fuck Dewi Tanjung.” Begitulah kalimat yang selalu Codot pakai untuk membela diri, jika ia ditanya mengenai filosofi nama bandnya tersebut.

Seiring berjalannya waktu, nama Kincrot band semakin populer di kota Merah. Lagu-lagunya terdengar di mana saja. Di angkutan kota, dapur restoran, taman kota, lokalisasi syariah di mana-mana.

Lagu-lagu Codot seolah sudah menjadi lagu wajib di Kota Merah. Di tahun pertama saja, Kincrot Band sudah berhasil membuat album perdananya yang bertajuk “Mandi Semalam” ludes di pasaran.

Untuk memenuhi permintaan agar albumnya dicetak kembali, manajemen Kincrot band mewajibkan para calon pembeli untuk membuat surat pemohonan dan menuliskan alasan kenapa ia ingin mendengarkan album tersebut.

Begitulah, nama Codot dan Kincrot Band semakin hari semakin terkenal di Kota Merah. Tak ada satu orang pun yang menampik hal tersebut.

Kini, Codot sudah lupa dengan cita-cita lamanya untuk menjadi dokter. Hari-hari Codot dihabiskan dengan jadwal panggung ketat, wawancara dengan wartawan yang bertanya tentang itu-itu saja dan penggemar yang hanya berharap bisa berfoto bersama.

Tak satupun yang Codot sesali. Codot tak pernah merasa lelah dengan rutinitasnya tersebut. Toh, ini memang yang Codot harapkan, menjadi musisi besar di kota Merah. Semua, sudah Codot harapkan. Kesuksesan sudah Codot rengkuh dalam genggaman.

Hanya satu saja yang belum. Ini berkaitan dengan yang ku sampaikan di atas. Codot sangat ingin main di panggung pergantian tahun. Dalam dua tahun kiprah bermusiknya, bermain di malam pergantian tahun adalah sesuatu yang sangat ia dambakan.

Codot rela tak dibayar asalkan keinginannya tersebut dapat diwujudkan. Jangan ditanya kembali apa alasannya. Sebagai musisi besar, bukankah Codot punya hak untuk tidak menjawab setiap pertanyaan yang ia rasa menganggu.

Di tahun lalu, Codot gagal bermain di malam pergantian tahun baru karena Hujan Lebat mengguyur kota Merah. Codot menjadi sedih luar biasa, sesuatu yang ia sangat inginkan terlewatkan belum dapat terwujud. Codot mencoba pasrah dan membesarkan hati bahwa sebagai manusia ia tak dapat melawan Kehendak Alam.

“Tahun besok masih ada”, katanya. Lebih lanjut ia berkata, “ Aku harus main di malam pergantian tahun depan, apapun yang terjadi, jika tidak, aku akan berhenti bermusik dan akan terjun dalam dunia politik saja,” ucap Codot ke kawan satu bandnya.

Satu bulan sebelum tahun baru, Codot mendapatkan tawaran dari event organizer setempat untuk turut memeriahkan malam pergantian tahun. Codot girang bukan kepalang.

Saking girangnya, Codot mengajak rekan satu manajemen untuk pesta seks di panti-pijat kota Merah. Lagi-lagi mohon jangan tanyakan kenapa pesta seks kok di panti-pijat, tentu Codot punya pertimbangannya sendiri. Panti-pijat, khusunya yang esek-esek, menurut Codot merupakan tempat yang sangat filosofis. “Di sana, cinta bersemi dalam satu jam, kemudian diakhiri dengan mandi bersama. Begitu romantis.” Tak ada yang bisa membantah pernyataan Codot tersebut. Pun, Tak ada alasan untuk menolak.

Waktu sekadar hitungan, Codot begitu tak sabar akan bermain sebaik mungkin. Ia dan kawan-kawan satu bandnya giat berlatih agar penampilannya sempurna dan tanpa celah di malam pergantian tahun.

Desember bergerak begitu cepat. Desember berjalan hingga ke ujung. Codot menghitung hari, melewati detik demi detik dalam debar. Ia membayangkan ribuan penggemarnya sudah menunggu dan bernyanyi bersama. Panggung besar dan pesta kembang api di malam itu di kota Merah akan menutup tahun tahun. Dan terpenting, keinginannya akan terwujud. Codot akan tampil di malam pergantian tahun.

Desember ceria menginjak angka terakhir. Codot sudah siap menjadi bintang malam pergantian tahun. Seluruh isi kota akan meneriakan nama Codot dan Kincrot band, harusnya.

Tapi, ada yang aneh dengan Codot. Di pagi hari, ia bangun dengan wajah penuh keringat. Ia mimpi buruk. Dalam mimpi, ia melihat dirinya di cermin mengenkan has dan dasi. Celaka, celaka, celaka. Petaka, petaka, petaka. Pantek, pantek, pantek. Tiga kata tersebut yang keluar dari mulut Codot.

Manajer Kincrot band bernama Semplung langsung terbangun ketika mendengar igauan Codot yang setengah memekik. Ia kemudian memberikan Codor air putih dan berusaha menenangkan Codot. Tak lama berselang, telepon genggam Semplung berbunyi.

“Ah, dari pihak panitia, mungkin hanya ingin mengabarkan jadwal gradiresik dan memastikan tata letak panggung,” pikir Sempung.

“Halo, Bung Semplung, Ini saya dari panitia acara pergantian Akhir Tahun,” kata suara di ujung telepon

“Iya. Ada apa, Bung?”tanya Semplung.

“Nganu, nganu, Bung.”

“Nganu apanya, Bung? Berjelas-jelaslah kalau bicara,” Semplung makin bingung.

“Hmm, (terdengar suara tarikan napas), jadi begini Bung Manajer Kincrot Band. Ada berita duka. Barusan saya mendapat intruksi dari atasan saya, untuk mengabarkan berita ini kepada Bung dan Kincrot band”

“Berita apa? cepat,waktuku tak banyak,” nada bicaranya makin tinggi.

“Beberapa menit yang lalu, atasan saya dihubungi oleh Wali Kota, dia bilang bahwa malam ini bapak wali kota ingin memberikan ceramah akhir tahun dan ceramah perpisahan, bung. Maklumlah, tahun besok wali kota bukan beliau lagi. Masa Jabatannya sudah habis. Mengenai rencana ini, sekuat apapun atasan saya berpendapat, tentu tidak bisa dibantah, bung. Karena beliau lah yang punya kuasa atas Kota Ini sekarang.”

Codot mendengar itu. Codot mendengar dengan jelas kata demi kata yang keluar dari ujung telepon. Ia merasakan seketika tubuhnya tak lagi merasakan apa-apa. Kaku. Tiba-tiba Codot ingat cita-cita lain setelah dokter dan musisi. Codot ingin menjadi wali kota.

--

--

Rio Jo Werry

Bercita-cita menjadi penyair. Namun sayang kurang cendekiawan dan tak terlalu bijak.